Kumparan.com 20 Maret 2020
Oleh: Makroen Sanjaya
Praktisi Media/Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi (DIK) Sekolah Pascasarjana Usahid, Jakarta
“Jurnalisme menghadapi risiko ditenggelamkan oleh hiruk pikuk disinformasi”. Demikian Guy Berger, Direktur untuk Freedom of Expression and Media Development, UNESCO dalam pengantarnya pada buku “Jurnalisme, Berita Palsu & Disinformasi” (2019:9). Dalam kasus pertama “Corona Virus Desease-19” atau Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Senin, 2 Maret 2020, berita Covid-19 menjadi menu breaking news semua paltform media, baik media lama (radio dan TV) maupun media baru (media online bahkan media sosial). Konten Covid-19 Indonesia, seketika menjadi trending, menempati first position dalam search engine, atau berada dalam urutan pertama dalam sistem algoritma pemrograman komputer. Kecamuk yang ditimbulkan oleh Covid-19 ini, setidaknya memunculkan tiga fenomena penggunaan media (employ the media), dua bertensi negatif karena menyalahgunakan sisi gelap (dark side) internet, dan satu lainnya bertendensi positif karena memanfaatkan sisi terang (bright side) internet.
Pertama, hanya butuh dua jam sejak kasus Covid-19 diumumkan, di beberapa titik pusat perbelanjaan di Jakarta, sejumlah kecil masyarakat memborong barang kebutuhan pokok. Media arusutama radio, TV, surat kabar maupun media online yang terverifikasi, absen memberitakan pelaku panik sosial itu. Fenomena borong barang itu, menjadi santapan empuk media sosial, dan sekonyong menjadi viral. Aksi borong barang itu, masuk dalam kategori misinformasi, sebagai “informasi yang (berpotensi) menyesatkan (perilaku) orang lain, yang disebarluaskan tanpa niat manipulatif atau jahat. Misinformasi ini sekonyong ‘bebas tanpa kendali’ manakala media arusutama dan otoritas negara mendiamkannya. Pada hari itu, penulis mengalami sendiri dampak pembiaran itu. Pukul 22.00 wib penulis tidak mendapatkan sepotong pun roti untuk sarapan pagi, yang biasanya stoknya di toko langganan itu cukup untuk sarapan 100 orang. “Tadi diborong orang, Pak. Jam 21.30an habisnya (roti) itu,” kata pegawai toko langganan itu. Patut diyakini, para pemborong roti di toko itu menjadi korban misinformasi yang disebar media sosial.
Kedua, dipicu oleh kepanikan sosial karena ancaman Covid-19, sejumlah kreator hoaks beraksi memproduksi ratusan konten disinformasi, menerobos aplikasi pesan instan WhattsApp dan lini masa media sosial, terutama yang menyangkut upaya prevensi dan preemsi. Hingga Kamis (19/3/20) malam, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengidentifikasi 267 hoaks berkaitan dengan Covid-19 yang tersebar di platform digital dan pesan instan. Pisang pun menjadi sarana hoaks, karena “difitnah” sebagai mengusir Covid-19, berdasarkan video yang dirilis dari media di Australia. Situs Covid19.go.id yang dikelola Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menempatkan pasukan siber dengan membuat rubrik Hoax Buster, sebagai kanal penangkal hoaks seputar Covid-19, termasuk pisang anti-Covid-19 itu. Hasil pemeriksaan fakta oleh Indri Pramesti Widyaningum, anggota Komisariat Mafindo Universitas Gunadarma, video pisang anti-Convid-19 yang diunggah di Twitter 15 Maret 2020 berjudul “Have a banana a day, keep corona virus away” itu merupakan hasil suntingan beberapa video. Sumber pertama potongan video itu adalah konten berita dari ABN News Australia di Youtube berjudul “Race is on as Australian researchers rush to make coronavirus vaccine” yang tayang 23 Januari 2020. Sumber video kedua dari kanal Youtube Herbs Curess yang tayang 1 Maret 2020. Video ketiga dari kanal Wall Street Journal di Youtube berjudul “How Scientists Are Trying to Develope a Coronavirus Vaccine” tayang 13 Februari 2020. Video pisang anti-Covid-19 ini masuk dalam kategori konten yang dimanipulasi (manipulated content) dalam kategori deep fake.
Fenomena media ketiga, dalam kecamuk Covid-19 ini juga mengekstrapolasi kemampuan teknologi web 2.0, yaitu internet dan ‘anak keturunannya’. Sejumlah aktor politik, baik karena sudah berada tahap memiliki kompetensi digital, atau karena demi alasan social distancing dan self-isolated, memanfaatkan sisi terang (bright side) internet, dengan menyelenggarakan konferensi pers secara virtual. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, termasuk aktor politik ‘generasi pertama’ pejabat publik di Indonesia yang cerdas dan cergas memanfaatkan komunikasi digital. Gubernur Anies, entah karena alasan ekonomi politik komunikasi, atau kompetensi digitalnya sudah memadai, sejak menjabat 2017, lebih memilih platform digital untuk berkomunikasi publik, ketimbang menemui jurnalis dari media arusutama.
Berikutnya, ketika eskalasi Covid-19 kian meningkat, muncul konsep work from home (WfH) di dunia kerja dan dinas instansi, serta konsep pembelajaran jarak jauh (PJJ) di dunia pendidikan. Memasuki pekan ketiga, sekitar 30 hingga 50 persen pekerja, melakukan WfH, sedangkan semua sekolah dan perguruan tinggi kosong. Intensitas penggunaan internet pun melonjak. Telkomsel dilaporkan mengalami kenaikan traffic komunikasi playload layanan berbasis data sebesar lima persen. Playload layanan belajar online menyumbang kontribusi terbesar dalam traffic internet operator seluler tersebut, yakni mencapai 236 persen (www.antaranews.com, 19 Maret 2020). Penggunaan media baru di tengah kekalutan sosial akibat Covid-19 ini, kian meneguhkan kekuatan media (media power) platform digital yang oleh Buyya & Dastjerdi (2016:7) sebagai sarana terciptanya “manusia dalam lingkaran” dan “meningkatkan kualitas kehidupan (human in the loop and improving the quality of life) sekaligus. Mengapa di tengah kemelut Covid-19 ini diseminasi konten disinformasi dan misinformasi lebih massif dibanding dalam situasi normal? Bagaimana media digital menunjukkan supremasinya di tengah krisis akibat Covid-19 ini?
Kehadiran Negara dan Media
“Kecepatan adalah hal yang esensial dalam perang”. Demikian dikatakan maestro strategi perang, Sun Tzu sebagaimana dikutip Paul Virilio dalam buku “Speed and Politics” (2006:149). Dalam perang, menurut Virilio, negara menggunakan teknik dromologis (kecepatan bertindak) untuk menjalankan kekuasaan, dimana berjalannya fungsi dan terjadinya penggabungan aparatus negara. Pemerintah negara seperti itu diprofilkan sebagai semacam “spesies mekanis” dari formasi kolektif. Dalam konteks “perang melawan” Convid-19 di Indonesia, Menteri Kesehatan, yang nota bene sebagai produk dari proses dromokrasi (politik) dinilai lambat dan cenderung under estimate terhadap realitas ancaman pandemik Covid-19. Beruntung, Presiden Joko Widodo secara dromologis segera tanggap keadaan, dengan mengumumkan terjadinya kasus positif Covid-19, yang dialami dua orang (K-1 dan K-2) sekaligus. Dalam situasi yang menggambarkan administration of fear itu, Presiden Joko Widodo secara bernas menunjuk juru bicara Penanganan Kasus Covid-19 Achmad Yurianto dan menetapkan penanggulangan Covid-19 di bawah koordinasi Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB). Dalam hal ini, kehadiran negara, dengan segala kritik yang menyertainya, menunjukkan tingkat keterpanggilannya dalam rangka “melindungi segenap tumpah darah Indonesia”. Hanya kemudian, tugas esensi pemerintah yang lain, yaitu mencegah terjadinya dampak dari administration of fear, gagal ditunaikan. Dalam konsep administration of fear Virilio (2012), negara tergoda untuk membuat kebijakan untuk mengatur dan mengelola rasa takut. Globalisasi semakin menggerogoti hak prerogatif tradisional negara, dan negara harus meyakinkan warga bahwa mereka dapat memastikan keamanan fisik mereka. Namun dalam Covid-19, entah siapa yang justru memainkan administration of fear ini. Produk alat perlindungan diri (APD) kesehatan semisal masker anti-virus dan cairan pelindung virus dan kuman (hand sanitizer), langka, jikapun tersedia, harganya melambung. Masker dan hand sanitizer dikomodifikasi oleh para spekulan, memanfaatkan ketakutan massa.
Pun media arusutama, cenderung “diam” dan “acuh tak acuh” terhadap realitas itu, karena takut memicu meluasnya kepanikan sosial atas fakta terjadinya aksi borong kebutuhan pokok, masker dan hand sanitizer. Secara sporadis media arusutama memberitakan rilis berita dari Polri soal penanganan penimbun atau produsen masker abal-abal, tanpa melakukan investigative reporting ke lapangan, sebagai salah satu “taji” media massa. Tanpa harus dihantui sebagai agen pemicu kepanikan sosial, media arusutama sejatinya dapat menggunakan satu dari empat ‘senjatanya’ yaitu sebagai alat kontrol sosial. Pokok soalnya adalah, media juga mengalami sindroma administration of fear, sehingga cenderung permisif dengan situasi yang ada. Awak media memiliki potensi mengaktifkan tindakan komunikatif (communicative act), dengan merilis sikap tegas aparatus negara dan ancaman hukuman bagi para spekulan dan para penganut panik sosial. Konsep tindakan komunikatif Jurgen Habermas (1984) menekankan mulai dari “mengandaikan bentuk interaksi dinamis, setara, dan bertujuan mencapai pemahaman bersama” hingga “life-world” (dunia-kehidupan) yang berintikan kesadaran manusia dalam interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Media massa harus mengontrol masyarakat, dengan membangun pemahaman bersama bahwa perbuatan spekulatif dan panik sosial adalah hal yang bertentangan dengan semangat gotong royong, solidaritas sosial, mengandung dimensi ketidakadilan sosial, dan aneka argumen lain yang relevan.
Dimensi lain tentang pentingnya peran media massa arusutama dalam meredam gejolak spekulasi barang dalam kemelut akibat Covid-19 bisa dilakukan, seperti yang diintrodusir Joshua Meyrowitz (1993) dengan konsep Tiga Metafora Media, yaitu media sebagai saluran (media as conduits), media sebagai bahasa (media as language) dan media sebagai lingkungan (media as environment). Dalam metafora media sebagai saluran, konten media, tanpa menafikan bahwa fakta itu sakral (fact is sacred), jenis pesan harus diperlakukan sedemikian rupa, untuk bisa meredam situasi yang dikehendaki. Media massa harus menjadi distributor representasi keamanan, kepastian hukum dan tertib sosial yang bersendikan gotong royong, solidaritas sosial dan keadilan. Sedangkan media sebagai bahasa, perhatiannya terfokus dalam berbagai cara media memformat pesan dan membingkai hubungan antara pengirim, konten, dan penerima. Melalui diksi dan narasi, media massa bisa membangun kesadaran nasional masyarakatnya. Seperti halnya yang dikonstantir David Holmes (2016), salah satu perbedaan karakter antara media (massa) lama (old media) yaitu surat kabar, radio, dan TV dibanding media baru (new media) khususnya internet, bahwa media lama “tugasnya” membangun “kesadaran”, sedangkan media baru membentuk “pengalaman”. Adapun dalam metafora ketiga, yaitu sebagai lingkungan, media berkonsentrasi pada cara-cara sistem dan lembaga media memfasilitasi dan menyusun interaksi dan komunikasi manusia. Karena sifat teknis dan kelembagaan, media layanan publik seperti radio dan televisi sejatinya masih disukai sebagai pola komunikasi nasional, paternalistik, dan searah (satu-ke-banyak). Kendati internet telah merangsek penggunanya dan menjadi media alternatif masyarakat massa, tapi media lama tetaplah menjadi sarana komunikasi yang efektif membangun kesadaran nasional itu.
Sayangnya, idealitas yang seharusnya diampu oleh media massa arusutama itu, tercecer di antara ribuan konten misinformasi, disinformasi, dan anomali komunikasi yang merasuki jutaan pengguna internet dan media sosial, dimana bagian terbesarnya kurang memiliki kompetensi komunikatif di era digital ini. Akibatnya, realitas sosial berupa aksi borong bahan pokok, masker dan hand sanitizer itu dibiarkan menjadi aktivitas keseharian masyarakat yang mempertontokan karakter selfistis dan egoistis. Supremasi digital atas media massa arusutama tahap pertama telah mengambil tempatnya. Jika keadaan ini tidak disadari oleh insan jurnalis, maka apa yang dikonstantir Guy Berger bahwa “jurnalisme menghadapi risiko ditenggelamkan oleh hiruk pikuk disinformasi”, sudah, dan akan terus terjadi.
Tipikal Citizen 4.0
Sisi positif atau hikmah dalam kemelut Covid-19 di Indonesia adalah menjadikan platform digital sebagai tumpuan utama dalam diseminasi informasi dan pola komunikasi publik struktur negara. Mulai dari Presiden Joko Widodo, Kepala BNPB, Jubir Penanganan Covid-19, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat, hingga kemerintahan terkait seperti Kemenlu, hingga Kemendag, melakukan virtual press conference, dengan memangkas aspek spasialitas (ruang dan waktu) yang menjadi salah satu karakter media baru. Meminjam istilah Hermawan Kertajaya, para agen struktur negara itu telah menerapkan model Citizen 4.0, “..dimana dunia menjadi semakin horizontal, inklusif, dan sosial serta kehidupan kita semakin dinamis dengan adanya internet”. Dalam model Citizen 4.0, terdapat satu dari lima dimensi, yang disebut Responsiveness, yaitu keinginan untuk memberikan servis tepat waktu kepada orang lain, dimana dengan dukungan gadget (teknologi informasi-pen), kita dapat memberikan respons dengan semakin cepat, lengkap dan mudah (2019:197).
Alih-alih menerapkan konsep phycical distancing atau social distancing, pemanfaatan virtual press conference melalui platform digital, yang tentu saja tanpa dihadiri kerumunan jurnalis, merupakan keniscayaan zaman, sekaligus membuyarkan dominasi media publik konvensional. Mengutip Goffman (1974), Dynal & Chovanec (2015) menyebutkan, media publik, yang melambangkan siaran televisi (misalnya berita, unjuk wicara, wawancara politik, dan lainnya), dapat dianggap sebagai “acara podium”, yang bisa diartikan sebagai konvensional dan old fashion (cara lama). Benar menurut N.Katherine Hayles (The Condition of Virtuality dalam The Digital Dialectic: 2001,69) bahwa virtualitas adalah kondisi (kehidupan) orang saat ini. “Virtualitas adalah persepsi budaya bahwa benda-benda material saling ditembus oleh pola informasi”.
Dalam praktiknya, virtual press conference yang mereduksi physical contact, social contact, dan inefisiensi komunikasi publik itu, merupakan tindakan komunikatif (communicative act) yang ditunggu media massa. Bagi awak redaksi pemberitaan, aspek kecepatan (waktu) mendapatkan informasi dari tangan pertama, dapat digaransi bahkan lebih cepat. Virtual press conference ini juga sangat efisien dalam operasional peliputan (ruang), karena tidak memerlukan pengerahan sumber daya (resource) baik manusia maupun peralatan broadcasting. Dalam kemelut Covid-19 ini, masyarakat komunikasi (komunikator, pesan, media, dan audien) Indonesia telah melakukan konvergensi media, sekaligus mencatatkan diri dalam sejarah supremasi digital. Seperti yang dinyatakan Lev Manovich (2002) yang dikutip Terry Flew dalam “New Media” (2014) bahwa “media baru melibatkan lintasan historis (antara) komputasi dan teknologi komunikasi yang konvergen, sehingga ‘sintesis dari dua sejarah ini’ akan mengarah pada ‘terjemahan semua media yang ada, tentu saja, semua konten digital, sekarang hanya akan terdiri (dari) seperangkat komputer data”. (Makroen Sanjaya/20032020)
https://kumparan.com/makroen-sanjaya/kecamuk-covid-19-dan-supremasi-digital-1t3q9gZuJcY/full?utm_source=kumDesktop&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=share&shareID=lgmcrI4HDJMi